Citayem Fashion Week dan Arogansi Kelas Menengah Ngehek



INFO RIMBA - Munculan Citayem Fashion Week sebagai suatu fenomena sosial telah menarik beberapa pihak untuk memperbincangkannya dalam suatu kerangka diskursus tertentu. Sebagai fenomena sosial, CFW ini adalah perkumpulan "anak-anak kampung" yang memiliki kesamaan hobi dalam bidang fashion yang amat sederhana. Anak-anak kampung ini kemudian dikenal sebagai anak-anak SCBD (Sudirman, Citayem, Bojonggede, dan Depok). SCBD ini adalah akronim riil yang berangkat dari realitas anak-anak kampung dari daerah-daerah pinggiran Jakarta tersebut.


Jika kita perhatikan dalam berbagai wawancara atau media sosial tentang mereka, maka akan kita temukan bahwa anak-anak ini sesungguhnya bukanlah dari golongan anak-anak kelas menengah apalagi kelas elit. Untuk itu, diksi anak-anak kampung ini sesungguhnya menunjukkan bahwa mereka benar-benar berasal dari kampung dengan fashion outfit yang mereka desain sendiri dengan budget seadanya. Tidak heran bila harga outfit mereka adalah harga outfit standar (jika enggan dibilang murah) di komunitas mereka.


Tetapi lebih dari sekadar dialektika oufit dan dari mana asal mereka. Anak-anak SCBD ini telah menunjukkan pada semua pihak, bahwa meski mereka adalah realitas yang berada di level rendah dalam struktur strata sosial, tetapi kenyataannya mereka adalah realitas yang hidup dan memiliki ide-ide genuine yang semua orang pada akhirnya tertarik dengan apa yang mereka lakukan. 


Pemilihan lokasi di sekitaran Jakarta, daerah Dukuh Atas yang notabene memiiki nuansa elegan dan mewah yang tidak terpikirkan oleh kelas menengah, baik model profesional dan pemerintah sendiri, adalah sinyal kuat bahwa mereka adalah realitas yang peka meski tumbuh dalam keterbatasan. Jauh sebelum fenomena CFW muncul, orang-orang membayangkan bahwa peragaan fashion hanyalah milik mereka yang memiliki akses dan uang melimpah, para artis, konglomerat, pejabat terkait, dsb. Hal ini, misalnya bagaimana Paris Fashion Week yang hanya bisa diakses oleh mereka yang merasa digdaya secara materil.


Setelah femonema CFW membesar, viral, dan memiliki ruang pembicaraan yang luas, mereka yang semula merasa digdaya secara materil dan strata itu justru datang ke jalan dan ruang yang dibentuk anak-anak kampung itu dalam rangka tidak untuk mengapresiasi ide mereka. Tetapi justru datang dengan segudang kepongahan dan kemewahan yang mereka pertunjukkan di ruang milik anak-anak kampung tersebut. Tak kurang dari Gubernur Jawa Barat, DKI Jakarta, dan artis seperti Paula (Istri Baim Wong) hadir dengan segala "kedigdayaan"nya. 


Kedigdayaan itu tiba-tiba berubah menjadi kepongahan saat seorang artis (Baim Wong) yang tidak terlibat dalam urun rembug ide sehingga tercipta fenomena CFW itu ingin mengakuisisi CFW sebagai bagian dari HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) miliknya. Sungguh (hanya) Kelas Menengah Ngehek yang tidak tahu diri sajalah yang akan mengakuisisi secara tidak etis ide anak-anak kampung yang brilian dan hidup itu sebagai barang yang akan menambah pundi-pundi kantong mereka. 


Pada akhirnya kita menyadari, bahwa sebagian besar realitas dari fenomena sosial yang cemerlang itu selalu tumbuh dari arus bawah yang termarjinalkan secara ekonomi dan sosial, tetapi kurang ajarnya, kelas menengah ngehek seperti apa yang dilakukan oleh Baim Wong ini adalah fenomena lain yang suka dan seringkali mengakuisisi ide-ide anak kampung sebagai milik dan barangnya. Dalam sejarah perjalanan bangsa, hal ini sesungguhnya sering terjadi, dan kita tidak selalu tegas menegurnya.

Author ABDUL K TULUSANG