Aliran dan Dramaturgi Politik
INFO RIMBA - Istilah Politik aliran pernah ramai ditahun 50-an-60-an Ketika respon masyarakat terhadap hasil penelitian seorang Antropolog Australia Clifford Geertz dengan judul tulisannya Javanese village, beliau mengelompokkan masyarakat jawa dalam 3 kelompok, yaitu Santri, priyayi, dan abangan.
Soekarno Hadir Dengan Konsep NASAKOM
Hasilnya
pada Pemilu 1955 Mayarakt pemilih terbelah secara politik, dan terpasung
pada konsep politik aliran, yang memunculkan Partai Masyumi sebagai pemenang
yang diikuti oleh PKI diurutan ke 3. Era Perseteruan kelompok islam dan komunis
semakin meruncing yang nyaris membubarkan negara proklamasi. Pada momentum
inilah Soekarno hadir dengan konsep NASAKOMnya, sebagai keterwakilan tiga
kelompok politik aliran besar di masyarakat saat itu, namun bagi saya Nasakom
tdk diperuntukkan sebagai idiologi kebangsaan yg akan menggantikan Pancasila.
Dari sudut politik, hadirnya politik aliran
bertujuan untuk menarik massa agar menjadi konstituen yang fanatik terhadap
Partai politik berdasarkan paham aliran atau idiologi tertentu, sehingga efek
sosialnya terjadi pembelahan politik bahkan idiologi. Fakta sosio-politik ini
sejatinya menghambat proses asimilasi, akulturasi dan integrasi bangsa dan
bahkan secara epistemologi jauh dari logika ilmu politik.
Kehidupan Bangsa yang Majemuk Seperti Indonesia
Harus disadari, bahwa dalam kehidupan bangsa yang majemuk seperti
Indonesia, Politik aliran akan membunuh sikap toleransi, memasung moderasi
beragama dan budaya. Masyarakat sebagai konstituen politik akan dicuci otaknya,
diprovokasi, dihasut dan dibelah, sehingga sulit meyakini kerjasama dengan
kelompok lain yg berbeda idiologi dan afiliasi politik, apalagi hidup
berdampingan, bahkan sering terjadi persaingan yang tidak sehat, saling curiga,
membangun stigma negatif pada keragaman, kuatnya sikap asertif yaitu penolakan
terselubung dan konflik tersembunyi disetiap komunitas anak bangsa.
Disamping itu jahatnya konsep Politik aliran
ini, dengan terang2an mempublikasi diri secara apologis paling terbaik, dengan
bangganya mengusung identitas aliran tertentu dan parpol sebagai idiologinya. Akhirnya berdampak pd
terjadix perang idiologi diruang publik yg melemahkan idiologi Pancasila, dan
perlahan mwngikis jiwa nasionalisme keindonesiaan.
Konstituen Cenderung Menjadi Objektif dan Rasional
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ketika
pendidikan politik semakin masif dan meluas di masyarakat, menjadikan
konstituen cenderung menjadi objektif dan rasional dalam menentukan pilihan
politiknya, bahkan ada fenomena pragmatis dalam mengejar target elwktoral. Maka
yang mengemuka saat ini adalah konsep “Politik rasional”, yaitu politik adiluhung
dan politik kebangsaan.
Sehingga efek politiknya menjadikan partai
politik yang masih mengusung jargon dan strategi politik aliran, sangat
terlihat menurun hasilnya pada pemilu 2019 lalu, namun fakta lain tak bisa
dipungkiri, dimana konstituen Islam tradisional
yang masih fanatis pada Parpol Islam tertentu masih menjadi kekuatan
beberapa partai islam, walaupun sudah merubah paradigma perjuangan politiknya.
Artinya bahwa jejak politik aliran yang
beriorientasi pada agama tidak sepenuhnya hilang di Indonesia. Memang Nampak
kecenderungan politik tradisional umat islam yang condong pada parpol kontestan
pemilu tertentu sdh mulai surut, hal ini dikarenakan terjadinya pergeseran
arah, orientasi dan tujuan politik di partai politik akibat pemberlakuan Ambang
batas parlemen atau Parliament thresult,
sehingga tujuan politik praktis berubah menjadi pragmatisme politik.
Fakta politik itulah yg memantik polemik
dikalangan konstituen islam, bahwa semua partai politik sama saja terjebak pada
target pragmatisme electoral ketimbang cita-cita pemberdayaan ummat. Hal itu
menyebabkan beberapa Partai Islam
terpaksa mensiasati diri menjadi partai terbuka dengan menerima kader
Non-Islam menjadi pemimpinnya didaerah tertentu seperti yang terjadi di Papua,
NTT dan beberapa daerah lainnya.
Kecenderungan Umat Islam Pada Islam Politik
Namun demikian menurut saya, kecenderungan
umat islam pada islam politik tidak akan lenyap begitu saja. Apalagi Ketika
semakin berkembangnya stigma “kriminalisasi ulama”, “Da’i bersertifikat”,
kebijakan penutupan masjid, hadirnya para Buzzer yg selalu disiapkan untuk
membully islam dihadapan publik medsos dan kebijakan-kebijakan yang dianggap
meminggirkan Islam dalam kehidupan bernegara, yang dihembuskan terus menerus
dengan kencang, terstruktur dan sistematis,
maka suasana kehidupan kebangsaan yg bias tersebut akhirnya menjadi suasana
kebatinan Ummat islam, yg memperkokoh dan memperteguh sikap pembelaan terhadap
parpol islam.
Fakta inilah menurut saya yang memancing Amien
Rais melahirkan Partai Ummat. Karena berharap dengan menggunakan media “politik
aliran”, maka kekuatan elektoralnya akan diperoleh. Mengapa demikian? Karena
menurut saya beliau bernostalgia dengan pendirian PAN yang begitu cepat
mendapat animo konstituen muslim.
Membesarkan PAN Pada Awal Berdirinya
Padahal sebenarnya yang membesarkan PAN pada
awal berdirinya adalah Muhammadiyah. Kalau bukan dukungan tokoh-tokoh dan kader
persyarikatan, PAN tidak mungkin dapat cepat berkembang seperti sekarang ini.
Muhammadiyah memiliki infrastrukrtur organisasi sampai ke tingkat Ranting,
sedangkan Amien Rais Pada saat itu baru selesai menjadi Ketum PP Muhammadiya, jadi
secara psikologis lahir dukungan politik karena sangat sayang dengan beliau,
tidak mau membiarkan beliau berjuang sendiri.
Namun, fakta politik hari ini berbeda dengan
suasana politik tahun 1998/1999, tapi walaupun demikian menurut saya ini bagian
dari langkah cerdas seorang Amien Rais dalam membaca peluang politik. Ketika
semua Partai Islam mulai meninggalkan panggung “politik aliran” akibat desakan
target electoral, malah beliau berusaha menghidupkan harapan itu, dan secara
epistemologis itu bagian dari dramaturgi politik yang berusaha memanfaatkan
celah ditengah persaingan elektoral yang begitu ketat antar partai.
Disamping itu menurut analisis saya, langkah
kuda pak Amien mendirikan partai UMMAT, sebagai bagian dari dramaturgi politik,
yakni menyiapkan panggung bagi dua putra mahkotanya untuk berjuang pada dua
Parpol yang memiliki karakter yang berbeda, yang satu nasionalis dan satunya
partai islam. Yang kedepan diharapkan akan menjadi koalisi permanen dalam
menyikapi setiap dinamika politik dan momentum politik kebangsaan. Dan itulah
yg disebut politik adiluhungnya Amien Rais, wallahu a'lam bissawab.
Author : Dr. Arianto Kadir, M.Si
Post a Comment